Pedang Pemblokiran Komdigi Mengancam Raksasa Dunia: EBay, Nike, Hingga Xbox

JAKARTA – Sebuah ultimatum keras Terbaru saja dilayangkan Bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Bukan kepada perorangan, melainkan kepada tujuh raksasa Dunia yang Pada ini beroperasi Bersama nyaman Di Indonesia.

Nama-nama besar seperti eBay, Nike, Xbox, dan Lenovo kini masuk Di “daftar hitam” dan diancam Akansegera diputus aksesnya Di seluruh Area Indonesia.

Ini bukan lagi sekadar imbauan. Ini adalah sebuah pertarungan wibawa Antara regulator Di negeri Bersama korporasi multinasional, Di mana jutaan konsumen Indonesia berada Di Ditengah-tengahnya, menanti Bersama cemas nasib layanan
Kandidatteratas mereka.

Surat Peringatan Telah Dilayangkan

Akar Di drama ini adalah Peraturan Pembantu Presiden Pembantu Presiden Kominfo Nomor 5 Tahun 2020, yang mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat Untuk mendaftarkan diri.

Akan Tetapi, Sesudah sekian lama, tujuh nama besar ini Dikatakan “membandel” dan belum juga Menunjukkan itikad baik Untuk patuh.

“Sebagai langkah konkret tindak lanjut, Kementerian Komdigi telah menyampaikan surat peringatan kepada tujuh PSE yang belum memenuhi kewajiban pendaftaran,” kata Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Di sebuah pernyataan resmi yang terdengar tegas.

Menurutnya, ini adalah Pada Di komitmen pemerintah Untuk menciptakan tata kelola digital yang tertib dan, yang terpenting, Untuk melindungi kepentingan Komunitas sebagai Pemakai.

Pintu Dialog Sebelumnya ‘Eksekusi’

Di balik ancaman keras ini, Komdigi seolah masih membuka sedikit pintu dialog. Mereka menegaskan bahwa jika ada kendala teknis Di proses pendaftaran, mereka siap Menyediakan bimbingan. Ini adalah sebuah “peringatan halus” Sebelumnya “pedang pemblokiran” benar-benar diayunkan.

“Seluruh PSE wajib mematuhi Syarat yang berlaku Untuk terciptanya tata kelola sistem elektronik yang tertib dan bertanggung jawab Di Indonesia,” ucap Alexander.

Ancaman Nyata atau Sekadar Gertak Sambal?

Di sinilah letak pertanyaan kritisnya. Apakah ini adalah sebuah ketegasan yang diperlukan Untuk Menunjukkan kedaulatan digital Indonesia? Ataukah ini adalah sebuah langkah berisiko yang bisa membuat konsumen merugi?