Jakarta –
Boven Digoel Untuk diperbincangkan belakangan ini. Kawasan Ke Papua itu Yang Terkait Bersama erat Bersama banyak tokoh kemerdekaan Indonesia.
Kabupaten Boven Digoel merupakan Lokasi pemekaran Bersama Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Mappi. Lokasi itu diresmikan Lewat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002.
Kendati terbilang Terbaru secara administratif, Akan Tetapi Lokasi yang dulunya disebut Digul Atas Memiliki sejarah panjang Sebelum era pra kemerdekaan.
Ke masa pemerintahan Hindia Belanda, Boven Digoel menjadi tempat pengasingan tokoh-tokoh penting seperti Mohammad Hatta, Sayuti Melik, Mas Marco Kartodikromo, Mohammad Bondan, Thomas Najoan, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, Ilyas Ya’kub dan lainnya.
Melansir Indonesia.go.id, Kamis (6/6/2024), terdapat 1.308 orang yang sempat diasingkan Hingga sana.
Digoel dikenal sebagai penjara alam Lantaran Ke sekelilingnya berisikan hutan rimba Bersama pepohonan yang menjulang tinggi. Lokasi itu jauh Bersama pusat pemukiman dan dulu hanya dapat diakses lewat jalur udara.
Samping Itu, Digoel masa itu disebut Lokasi yang mengerikan Lantaran terdapat banyak nyamuk malaria yang ganas. Adapun, Sungai Digul yang punya panjang 525 kilometer, kendati bisa menjadi sumber air dan Konsumsi, juga terdapat banyak buaya Ke sana. Korbannya, tawanan bernama Mangoenatmodjo tewas dimangsa buaya Di Untuk mandi Ke Sungai Digoel.
Ke Samping itu, Ke Disekitar kamp Boven Digoel juga banyak dihuni Bersama suku setempat yang masih tak ramah Bersama orang Foreign. Tawanan bernama Dahlan dan Sukrawinata yang adalah mantan pemimpin Asosiasi Revolusioner Batavia pun menjadi korban ketika diserang suku Mappi-Papua Di itu.
Bung Hatta pun sempat merasakan liarnya alam Digoel Di satu tahun. Di ini, patung Bung Hatta pun berdiri Ke sana bersama Bersama tulisannya perihal pengalamannya menjalani pengasingan.
“Hingga mana kita dibawa Bersama nasib, Hingga mana kita dibuang Bersama yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah Untuk Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Ke atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan Ke mana kakiku menginjak bumi Indonesia, Ke sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan Untuk dadaku,” tulis kutipan Bung Hatta.
Penghuni Digoel hampir semuanya adalah Mantan aktivis politik yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda.
Dulu, para tapol Ke Digoel Melakukanupaya melarikan diri Bersama kawasan yang amat berbahaya itu. Akan Tetapi, berbagai kesulitan dihadapi mereka. Misalnya salah satu tawanan Thomas Nayoan asal Minahasa.
Untuk Bacaan Jalan Hingga Pengasingan karya John Ingleson, ia diceritakan adalah tawanan yang gigih melarikan diri. Akan Tetapi pelariannya gagal dan sempat tersesat hingga Australia ketika ia mencoba menyusuri sungai Bersama perahu. Sialnya, Lantaran Australia Memiliki perjanjian ektradisi Bersama Belanda, ia dikembalikan Hingga kamp digoel.
Sedangkan ada kisah pelarian terlama Bersama Digoel yang dilakukan Bersama Sandjojo dan kawan-kawannya. Mereka tiba Ke Thursday Island, Australia, dan sempat membuka jasa cukur rambut. Akan Tetapi sayang, mereka kembali tertangkap polisi rahasia Hindia Belanda yang Menyambut informasi Bersama salah satu surat yang Disalurkan Bersama buronan kepada keluarga Ke kampung.
Menurut sejarawan Belanda, J.M. Pluvier, suasana kamp Digoel tidak seseram kamp yang dibangun rezim Nazi seperti Ke Auswitch. Tetapi pemerintah Hindia Belanda melakukan cara lain Bagi menghancurkan mental para pejuang.
Yakni setiap penahanan dan pembebasan tapol selalu diberitakan Ke media massa Di itu. Mereka yang dibuang ataupun dibebaskan Berencana diwawancara Bersama media. Itu yang membuat banyak pejuang era kemerdekaan merasa takut jika dibuang Ke kamp Boven Digoel.
Kini, Boven Digoel lah yang terancam. Hutan adat Ke kawasan itu bakal dialihfungsikan menjadi kebun sawit. Itu bermula Bersama pemerintah provinsi yang Menerbitkan izin kelayakan lingkungan hidup Bagi PT Indo Asiana Lestari (IAL) seluas 36.094 hektar. Sebagian izin tersebut berada Ke hutan adat marga Woro, Dibagian Bersama suku Awyu.
Ke akhir Mei 2024, suku Awyu dan Moi bersama perwakilan organisasi Komunitas sipil Melakukan Protes Ke Didepan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Mereka meminta MA dapat membatalkan izin perusahaan sawit yang Ditengah mereka lawan.
Pembatalan izin itu bisa menyelamatkan hutan Papua. Di ini, mayoritas Komunitas adat Ke Papua, termasuk warga Awyu dan Moi, memanfaatkan hutan dan tanah adat sebagai ruang penghidupan bersama sekaligus keperluan berburu, berkebun, Ketahanan Pangan, Perawatan-obatan, Kekayaan Budaya Dunia, ekonomi, dan Pembuatan pengetahuan. Perubahan hutan menjadi perkebunan sawit Berencana menghilangkan fungsi dan daya dukung lingkungan alam.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Boven Digoel, Tempat Pengasingan Banyak Pejuang Kemerdekaan